stt1.gif

Artikel 3
Home
Tentang STT GKE
Visi Dan Misi STT-GKE
Penatalayanan
Akademika
Program dan Minat Studi
Aktivitas Kampus
Artikel dan Jurnal
Kalender Kegiatan
Bagaimana Mendaftar?
Bagaimana Menghubungi Kami
Dewan Pengajar

YESUS SEBAGAI PELAJAR

Oleh.Dr. Ruth Schäfer

(Orasi Pada Dies Natalis 8 Februari 2008, STT GKE Banjarmasin)

 

Pengantar

Text Box:   

"Yesus sebagai pelajar" bukan "Yesus sebagai pengajar", judul orasi ini benar, padahal saran yang kedua yang pasti jauh lebih dekat anggapan umum kita mengenai Yesus. Dalam Injil gambaran-Nya sebagai Tuhan yang mengajar jauh lebih sering ditemukan daripada gambaran-Nya sebagai manusia biasa yang belum tahu dan harus belajar. Khususnya ajaran Yesus yang sering direnungkan dalam khotbah, bukan proses bagaimana Ia sampai di sana. Namun, hari ini justru "Yesus sebagai murid" bukan "Yesus sebagai guru" dalam fokus perhatian kita. Pilihan tema ini cocok untuk lembaga pendidikan, bukan?

Yang harus saya akui, penentuan topik ini antara lain dilatarbelakangi salah satu keprihatinan saya: Meskipun kamu, meskipun Saudara-Saudari wisuda hari ini, jangan berfikir bahwa hari ini kamu sudah menyelesaikan tugasmu untuk belajar. Kamu masih muda sekali, dan jangan mau menjadi vikaris dan pendeta yang sudah "tahu semua" dan meneladani Yesus sebagai pengajar dengan terus menggurui warga jemaat.

Keprihatinan lain yang saya rasakan bahwa kami sebagai dosen sekolah ini mungkin terkadang menganggap diri kami hebat dan lupa bahwa sebenarnya keadaan kami sebagai pengajar yang dianggap lebih tahu pada dasarnya disebabkan fakta bahwa memang kami lebih tua saja. Menjadi tua bukan berarti ada prestasi yang harus dinilai amat tinggi. Entah salah seorang dari mahasiswa dan mahasiswi yang diwisuda hari ini akan melakukan pembaharuan teologi Indonesia yang luar biasa dan mengagumkan di masa mendatang. Jangan juga kami menjadi orang yang tidak bisa keluar lagi dari peranannya sebagai guru "yang tahu". Dalam keadaan berkeluarga, bersahabat, berjemaat, dan bermasyarakat, pasti sikap lain yang diharapkan dari kami.

Karena itu, marilah kita menyimak bagaimana penulis kitab-kitab Perjanjian Baru mengajar kita dengan memperlihatkan Yesus sebagai seorang pelajar. Dalam pembahasan, saya akan mengikuti riwayat hidup Yesus dan menafsirkan beberapa teks yang diambil dari ketiga Injil Sinoptis dan dari Surat kepada orang Ibrani.

 

Waktu masa kecil-Nya

(Luk. 2)

 

Kedua pasal pertama dalam Injil Lukas bercerita tentang peristiwa yang berhubungan dengan kelahiran Yesus dan juga sedikit tentang masa kecil-Nya. Penulis Lukas sangat menegaskan bahwa Yesus betul adalah anak manusia yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang bernama Maria. Yesus adalah "bayi" (Luk. 2:16) yang "dibungkus dengan lampin dan dibaringkan di dalam palungan karena tidak ada tempat di rumah penginapan" (Luk. 2:7; lih. juga Gal. 4:4). Jelas bahwa Yesus – sama seperti kita sekalian – pada awal kehidupan-Nya membutuhkan pertolongan dan bahwa orang tua-Nya yang memberi pertolongan itu adalah orang awam, orang miskin. Namun, yang menarik, Lukas dalam ceritanya sekaligus menegaskan keagungan anak itu. Seorang malaikat berkata kepada gembala-gembala: "Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus Tuhan, di kota Daud" (Luk. 2:11). Lukas menggabungkan kedua aspek kemanusiaan dan keallahan Yesus dengan mengatakan bahwa justru kemanusiaan yang merupakan petunjuk untuk keallahan-Nya. Beginilah ia melanjutkan perkataan malaikat: "Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan" (Luk. 2:12).

 

Konsili di Kalsedon pada tahun 451 M mendefinisikan tentang perihal keallahan dan perihal kemanusiaan yang menjadi satu di dalam Kristus secara tidak terpisah dan tidak tercampur. Keyakinan saya, dogma kristologis ini sepenuh-nya kita mengerti jika kita dapat menggabungkan kedua aspek ini persis seperti telah dilakukan penulis Injil Lukas. Kita tidak harus takut memberi penekanan pada kemanusia-an Kristus. Tidak ada persaingan antara kedua perihal ini seakan-akan keallahan Kristus hanya dipercayai dan dapat diterima apabila kemanusiaan-Nya disingkirkan. Justru se-baliknya, cara Kristus hidup sebagai manusia menyatakan keallahan-Nya. Sebagai manusia Ia dikatakan "tunduk" ke-pada orang tua-Nya di Nazaret (Luk. 2:51), "tempat Ia dibesarkan" (Luk. 4:16).

 

Dalam pendekatan seperti itu, bagaimana dengan cerita ten-tang Yesus pada umur dua belas tahun di Bait Allah (Luk. 2:41–51)? Ya, bagaimana dengan cerita itu? Yang pertama, kita diundang melepaskan angan-angan bahwa Yesus sebagai anak yang mahatahu langsung mempermalukan guru-guru agama Yahudi. Yesus dikatakan "mendengarkan" mereka, "mengajukan pertanyaan", "mengerti" dan "menjawab" nampaknya kegiatan ini Ia lakukan dengan sangat baik sehingga semua orang yang hadir menjadi heran (bdk. Luk. 2:46–47). Pada kesempatan ini Yesus dilukiskan sebagai murid seperti yang diinginkan guru. Namun, bahkan di ruang kuliah STT GKE hal yang demikian terkadang terjadi, yaitu bahwa saya sebagai dosen merasa pengertian seorang mahasiswa luar biasa. Saya bilang di dalam diri saya maha-siswi ini betul pintar, hebat pengertiannya. Meskipun dalam pikiran sangat memuji orang itu, saya pasti tidak membayangkan bahwa orang itu sudah menyelesaikan proses belajar dan tahu semua.

Bahwa pengertian perikup yang demikian pantas, dapat dikuatkan dengan melihat kerangka cerita. Baik ayat se-belum perikup ini maupun ayat sesudahnya menegaskan fakta bahwa Yesus berkembang dan belajar secara eksplisit: "Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya" (Luk. 2:40), "dan Yesus makin maju dalam hikmat dan usia dan pesona di hadapan Allah dan manusia" (Luk. 2:52). Ayat yang pertama mengikuti sambil melebihi apa yang ditulis sebelumnya tentang Yohanes sebagai anak: "Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat dalam roh" (Lk 1:80a; lih. juga Hak. 13:24 tentang Simson dan 1 Sam. 3:19 tentang Samuel). Ayat Luk. 2:52 mengakhiri cerita tentang masa kecil Yesus dalam Injil Lukas. Kita harus menunggu lama se-belum mendengar kabar biografis tentang Yesus lagi: "Dan Ia, Yesus, memulai (karya-Nya) ketika berumur kira-kira tiga puluh tahun ..." (Luk. 3:23; bdk. 1 Sam. 2:26).

 

Waktu Ia mulai berkarya di muka umum

(Mrk. 1 dan Mat. 3–4)

 

Penulis Markus mengawali jalan cerita Injilnya dengan penampilan dan pemberitaan Yohanes Pembaptis (Mrk. 1:1–8). Sama sekali tidak ditemukan cerita tentang kelahiran Yesus dan bagaimana Ia dibesarkan; pertama-tama kita membaca tentang baptisan-Nya (Mrk. 1:9–11). Yang menarik di sini, bahwa versi cerita yang paling tua ini sangat menge-tengahkan hubungan antara Allah sebagai Bapa dan Yesus sebagai Anak-Nya seperti dialami oleh Yesus sendiri. Dalam Injil Markus hanya Ia yang "melihat langit memisahkan diri dan Roh seperti (burung) merpati turun ke dalam-Nya" (Mrk. 1:10). Dan juga hanya Ia saja yang mendengar "suara dari sorga: Engkaulah Anak-Ku yang kekasih, kepada-Mulah Aku berkenan" (Mrk. 1:11; bdk. Mzm. 2:7; Yes. 42:1). Tidak hanya itu, tetapi dalam Injil Markus pasti cerita baptisan dapat dimengerti sebagai cerita panggilan Yesus. Ia menyadari hubungan-Nya dengan Bapa dan dianugerahkan dengan Roh yang akan membimbing-Nya dalam proses menjalankan karya-Nya.

 

Perbuatan-perbuatan pertama yang dilakukan Yesus, diceritakan dalam Mrk. 1:16–45. Jikalau keseluruhan teks ini diba-ca secara tidak terpotong, timbul kesan apa yang terjadi me-rupakan keadaan yang padat sekali. Mulai dengan Mrk. 1:10 tidak kurang dari sebelas kali kata ('segera') dapat ditemukan dalam pasal pertama ini: "dan segera (terjadi) ... segera ... segera" (bdk. Mrk. 1:10.12.18.20.21.23.28.29.30. 42.43, tidak setiap kali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia). Yang mendorong Yesus, menurut pandangan saya, dapat ditafsirkan sebagai Roh dengan merujuk pada ayat 10 (dan 12), tetapi nama lain untuk dorongan ini juga adalah sukses yang tidak diharapkan-Nya. Jika kita mem-baca permulaan Injil Markus seakan-akan pertama kalinya, menjadi nyata perbuatan-perbuatan Yesus digambarkan luar biasa berhasil. Misalnya dalam bagian Injil ini belum ditemukan satu orang lawan pun. Semakin lama semakin banyak orang mendengar tentang Ia dan datang kepada-Nya (bdk. Mrk. 1:18.20.28.33.37.45). Catatan yang mengakhiri pasal pertama dalam Injil Markus berbunyi demikian: "... orang terus datang kepada-Nya dari segala penjuru" (Mrk. 1:45).

Apakah Yesus dapat dikatakan belajar melalui dan ber-dasarkan kejadian-kejadian itu? Perikup pendek yang pada umumnya kurang diberi perhatian adalah teks Mrk. 1:35–39. Dalam edisi Perjanjian Baru dari LAI, cerita ini diberi judul "Yesus mengajar di kota-kota lain". Judul ini agak cocok khususnya untuk ayat 39 (meskipun yang sebenarnya ter-tulis di sini adalah bahwa Yesus "memberitakan" bukan "mengajar", tetapi pertanyaan saya: Bagai-mana Ia sampai di sana? Maka apa makna dari ayat 35–38? Berbeda mungkin dengan kesan pertama kita, dapat dibukti-kan bahwa teks ini sangat berharga untuk penulis Markus sendiri. Hanya tiga kali ia menyebut secara eksplisit dalam Injilnya bahwa Yesus berdoa (bdk. Mrk. 1:35, 6:46, 14:35.39) dan secara demikian memberi penekanan khusus pada peristiwa masing-masing itu. Mungkin ayat Mrk. 1:38 dapat dimengerti sebaik-baiknya sebagai keputusan Yesus yang sekaligus merupakan hasil dari doa itu: "Marilah kita pergi ke tempat lain, ke kota-kota yang berdekatan, supaya di sana juga Aku memberitakan Injil karena untuk itu Aku telah datang". Ungkapan yang terakhir membuat menjadi jelas bahwa Yesus dengan itu memper-dalam pengertian panggilan-Nya. Waktu itu Ia memutuskan menjadi pemberita Injil yang hidup mengembara. Pasti, hal itu bukan keputusan yang Ia ambil dengan mudah.

 

Mengenai Injil Matius, saya hanya ingin menambahkan satu aspek tertentu yang berkaitan dengan waktu Yesus memulai karya-Nya di muka umum. Aspek itu adalah penyorotan hubungan antara Yohanes Pembaptis dan Yesus. Penulis Matius yang paling memberi perhatian pada relasi itu. Ia sadar akan kesalahpahaman yang dimungkinkan catatan tentang pembaptisan Yesus oleh Yohanes (lih. Mrk. 1:9) dan menyisipkan percakapan khas dan baru ke dalam versinya dari cerita itu (lih. Mat. 3:14–15 dalam konteks 3:13–17). Dalam perkataan Yohanes, ayat Mat. 3:14 menegaskan lagi (bdk. Mat. 3:11–12; Mrk. 1:7–8) siapa di antara mereka berdua yang sebenarnya lebih hebat: "Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu, dan Engkau yang datang kepadaku?" Di sisi lain, justru Matius yang menekankan aspek keter-gantungan pemberitaan Yesus pada pemberitaan Yohanes. Dalam Injil Matius, rumusan pemberitaan Yesus yang pertama secara harafiah mengulangi perkataan-perkataan Yohanes: "Berbaliklah, sebab sudah dekatlah Kerajaan Sorga" (Mat. 4:17 = 3:2). Pada umumnya sikap yang demikian dianggap khas untuk relasi antara seorang murid dengan gurunya.

 

Waktu Ia di pertengahan karya-Nya

(Mrk. 7)

 

Dari beberapa perikup yang dapat diambil untuk membukti-kan bahwa proses belajar Yesus tidak berhenti waktu Ia bekerja secara mandiri, saya hanya ingin menafsirkan satu contoh.

 

Mrk. 7:24–30 berbunyi demikian: "Yesus berangkat dari situ dan pergi ke daerah Tirus. Dan Ia masuk ke sebuah rumah dan tidak mau bahwa ada seorang pun yang mengetahui (nya), dan (itu) tidak dapat dirahasiakan: Malah seorang perempuan, yang puteri kecilnya mempunyai roh najis, segera mendengar tentang Dia, datang dan tersungkur di depan kaki-Nya: Tetapi perempuan itu adalah seorang Yunani, mengenai keturunan dari Siro-Fenisia: Dan ia memohon kepada-Nya supaya Ia mengusir setan itu dari putrinya. Dan Ia berkata kepadanya: Biarlah pertama-tama anak-anak dikenyangkan sebab bukan (hal) yang baik mengambil roti anak-anak dan melemparkan(nya) kepada anjing kecil. Tetapi ia menjawab-Nya: Tuan, anjing kecil yang di bawah meja juga makan dari remah-remah anak-anak. Dan kata-Nya kepadanya: Karena firman itu, pergilah, setan itu sudah keluar dari putrimu. Dan ia pergi ke rumahnya, mendapati anak itu berbaring di tempat tidur, dan setan itu sudah keluar".

 

Dalam cerita ini, bukan mukjizat yang paling penting, tetapi perkembangan teologis. Beberapa ciri khas cerita ajaib dapat ditemukan di sini: Penyakit puteri yang parah sangat menyusahkan hati ibunya. Jelas sebab ia memohon bantuan dari Yesus sebagai pembuat mukjizat yang termasyhur dan didengarnya ada hadir. Catatan tentang penyembuhan anak itu mengakhiri cerita ini. Namun, berbeda dengan banyak cerita mukjizat lain, sama sekali tidak ada tekanan pada kuasa Tuhan. Dari awal tidak timbul keragu-raguan apapun bahwa Yesus memang mampu menyembuhkan kedua per-empuan itu; yang sebenarnya mengakibatkan ketegangan dalam cerita adalah apakah Yesus mau melakukan itu, apakah Ia mau membantu. Nampaknya, Yesus sendiri yang merupakan hambatan terbesar hingga happy ending cerita dapat dicapai.

Soal yang mempersulit penyembuhan perempuan itu adalah adat-istiadat, anggapan yang turun-temurun tentang sikap yang patut untuk orang Yahudi terhadap orang non Yahudi. Dalam ayat Mrk. 7:26 masalahnya dua kali ditegas-kan: "Tetapi perempuan itu adalah seorang Yunani, menge-nai keturunan dari Siro-Fenisia". Mungkin penyebutan pe-nyakit anak sebagai suatu kerasukan roh yang "najis"/"tidak bersih"/"tidak halal" juga berhubungan dengan soal itu (Mrk. 7:25; dalam terjemahan LAI menjadi "jahat", istilah yang menurut pandangan saya terlalu umum).

Bukti yang diambil dari konteks literaris cerita menguatkan pengertian yang demikian: Di dalam Mrk. 7:1–13 Yesus mengecam adat istiadat orang Farisi sebagai adat istiadat manusia saja sebab hati mereka sebenarnya jauh dari Allah. Di dalam Mrk. 7:14–23 Yesus menyatakan semua makanan halal. Yang jahat sama sekali tidak berasal dari luar, tetapi dari dalam diri manusia. Sebelum dan sesudah pasal Mrk. 7, dua kali ditemukan cerita tentang Yesus yang memberi makanan kepada banyak orang. Seperti dalam Mrk. 7:24–30 "roti" dan "menjadi kenyang" merupakan istilah kunci kedua cerita ajaib itu. Ada tafsiran bahwa orang yang dituju dalam Mrk. 6:30–44 di sebelah barat danau Galilea adalah orang Yahudi (lih. khususnya ayat 34, 41, 43), sedangkan yang dituju oleh mukjizat Yesus dalam Mrk. 8:1–10 di sebelah timur danau Galilea adalah orang non Yahudi (lih. khususnya ayat 3, 6, 8). Kedua cerita masing-masing dimulai dengan keprihatinan apakah dan bagaimana mendapat cukup ma-kanan untuk sebanyak orang yang ingin bersama dengan Yesus (bdk. Mrk. 6:35–37, 8:1–4), tetapi pada akhirnya orang mengalami kelimpahan: "Dan mereka semuanya makan dan dikenyangkan. Dan mereka mengumpulkan potongan-potongan (roti) dua belas bakul penuh, dari ikan juga" (Mrk. 6:42–43). "Dan mereka makan dan dikenyangkan. Dan mereka mengumpulkan kelebihan potongan-potongan (roti) tujuh keranjang" (Mrk. 8:8).

Perkembangan teologis yang merupakan topik umum dari bagian Injil Markus 6:7–8:26 adalah adat-istiadat orang Yahudi yang mencegah mereka bergaul dengan orang non Yahudi (orang "Yunani" atau "kafir"). Tradisi yang demikian diatasi demi orang kafir sehingga mereka juga dapat meng-alami keselamatan. Kehendak Allah untuk menyelamatkan tidak lagi ditafsirkan secara eksklusif (untuk orang Yahudi saja), tetapi universal (untuk orang Yunani juga).

 

Pikiran teologis ini dikembangkan di dalam jemaat-jemaat "campur" pengikut Kristus khususnya di Antiokhia dan di daerah-daerah aktifitas misi oleh rasul Paulus. Waktu yang paling produktif untuk perkembangan itu, kira-kira tahun   35–55 M. Karena itu, pasti ada dua lapisan dalam cerita  Mrk. 7:24–30, lapisan historis (apa yang benar-benar dilaku-kan Yesus sejarah) dan lapisan teologis (penggarapannya berdasarkan masalah yang mendesak dan anggapan teo-logis yang penting untuk warga jemaat-jemaat mula-mula). Karena diskusi ilmiah apakah dan bagaimana kedua lapisan itu dapat atau tidak dapat dipisahkan sangat rumit, pada kesempatan ini saya hanya ingin menjelaskan teks seperti ada tertulis dalam Injil Markus, maka mungkin tafsiran saya cenderung terlalu psikologis dan kurang kritis. Yang  menarik untuk saya dan sekaligus betul khas untuk pertemuan antara Yesus dan ibu dari anak kecil yang sakit itu adalah perdebatan antar mereka.

 

Ayat 27: Pada permulaan Yesus terus-terang menolak per-mohonan ibu itu. Gambaran yang Ia pakai memperlihatkan bahwa Ia terperangkap dalam pikiran aliran Yahudi tertentu atau dengan kata lain dan lebih moderen: Sesuai dengan adat-istiadat mereka dan anggapan yang melatarbelakangi-nya, Ia terperangkap dalam prasangka etnis dan religius. Orang Yahudi Ia sebut "anak", tetapi orang Yunani "anjing kecil". "Bukan (hal) yang baik" – yang Ia maksudkan: Allah tidak berkenan-menemui dan bahkan menolong mereka sebab mereka tidak dimasukkan ke dalam rencana penyelamatan Allah. ('dikenyangkan', bdk. Mrk. 6:42, 8:8) ada-lah bentuk pasif, mungkin passivum divinum, yaitu secara tidak langsung karya dan kehendak Allah pula disebut di sini. Nampaknya Yesus prihatin keselamatan (dan kasih?) Allah tidak cukup besar dan luas untuk semua orang. Jika Ia mulai menyembuhkan orang kafir juga, yang dapat Ia berikan akan cepat habis dan tidak memadai lagi untuk keperluan dan kerinduan bani Israel.

 

Ayat 28: Meskipun diperlakukan dengan kurang sopan, ibu itu menanggapi perkataan Yesus dengan cerdas, dan berbeda dengan terjemahan dari LAI, ia tidak mengiakan apa yang Ia katakan. Kemungkinan sangat besar bahwa kata "benar" ditambahkan pada teks asli di kemudian hari, barangkali dipengaruhi oleh ayat Mat. 15:27 ("ya Tuan"). Naskah yang paling tua (Papirus Chester Beatty I dari abad ketiga) memang tanpa kata itu.

Kelihatannya perempuan Yunani itu tidak mau pasrah dengan cepat. Anaknya sedang menderita dan memerlukan bantuan, dan ia telah mendengar bahwa Yesus mampu menolong. Hanya prasangka orang Yahudi itu yang harus diatasi lebih dahulu. Untuk itu, ia memakai gambaran yang sama yang lebih dahulu dipakai Yesus. Perempuan Yunani itu tidak berkeberatan bahwa bangsa Israel diutamakan yaitu bahwa "pertama-tama anak-anak dikenyangkan" (ayat 27b; lih. juga Rm. 1:16, 2:9–10; Kis. 3:26, 13:46 dan    1 Raj. 17:13), tetapi penjelasan dan tafsiran prioritas ini seperti diucapkan Yesus sebagai kehendak Allah (ayat 27c) ditolaknya.

Pada dasarnya argumennya bahwa kebaikan Allah cukup besar untuk semua, termasuk orang Yunani, termasuk anak-nya sendiri. Warisan janji Allah tidak harus "diambil" dari Israel supaya keselamatan dapat dialami oleh orang non Yahudi juga. Kasih Allah tidak terbatas pada bangsa pilihan-nya; sungguh, ada lebih daripada cukup: "Anjing kecil" tidak makan hingga anak mengalami kekurangan dan menjadi lapar, mereka bahkan tidak makan habis (bdk. Mrk. 6:43, 8:8 dan lih. 1 Raj. 17:14–16), mereka "juga makan dari remah-remah anak-anak".

 

Barangkali sedikit ironi dapat ditemukan dalam ucapan perempuan yang mengulangi gambaran Yesus untuk men-jelaskan pikirannya yang cemerlang: Jika bahkan anjing kecil dikasih oleh manusia apa yang mereka butuhkan, apalagi manusia oleh Allah.

Ayat 29: Prasangka Yesus diatasi, pandangan-Nya dikalah-kan oleh argumentasi seorang perempuan. Yesus menerima fakta itu dengan baik, Ia belajar dari perempuan itu tentang kehendak Allah, memperluas pengertian panggilan-Nya dan – last but not least – menyembuhkan anak kecilnya. Sebagai manusia Yesus dibesarkan dalam dan dibina oleh tradisi-tradisi budaya tertentu. Menjadi makin dewasa dan mandiri berarti "menguji segala sesuatu" termasuk identitas etnis dan religius dan (hanya) "memegang yang baik" (bdk. 1 Tes. 5:21). Meskipun pemakaian bahasa Indonesia tidak jelas dalam hal ini, kita harus membedakan dengan tegas antara kesalahan yang tak terelakkan untuk semua orang (termasuk Yesus) dan dosa (yang tidak dibuat-Nya).

 

Apa yang memungkinkan proses belajar dalam Mrk. 7:24–30? Judul perikup dalam edisi LAI memuji kepercayaan perempuan Siro-Fenisia ini, meskipun sebenarnya tidak jelas apakah ia memang menjadi percaya. Atau pengharapan bahwa pembuat mukjizat yang terkenal menyembuhkan anaknya juga, sudah boleh disebut 'kepercayaan'? Apakah ketabahannya sama dengan 'kepercayaan'? Pengertian yang demikian paling sedikit tidak dapat dipastikan karena sapaan  (ayat 28, dalam Injil Markus hanya ditemukan satu kali) dapat diterjemahkan penuh makna menjadi "Tuhan" (begitu terjemahan LAI) atau "Tuan" (biasa) saja. Barangkali dalam cerita ini Yesus menyembuhkan perempu-an yang tetap kafir, beragama lain.

Sebenarnya kita tidak perlu mencari alasan yang mengakibatkan perubahan sikap Yesus dengan sangat spekulatif sebab dalam ayat 29 Ia sendiri yang memberi penjelasan: "karena firman itu". Sebab kata 'logon' berbentuk tunggal (aspek ini diabaikan terjemahan LAI), pasti bukan kefasihan perempuan yang dipuji, tetapi 'logika' argumennya; perempuan itu cerdas dan perkataan-nya dapat meyakinkan. Makna istilah 'logos' sangat penuh dan luas, antara lain kamus menyarankan terjemahan 'sebab' dan 'alasan'.

Bagaimana dengan kepribadian Yesus sebagai seorang pelajar? Pada sisi Yesus, yang nyata dapat disyaratkan adalah terutama keterbukaan bahwa mungkin Ia salah, rasa kasihan karena penderitaan orang konkret yang Ia temui dan akal budi untuk merenungkan lagi landasan anggapan-Nya tentang kehendak Allah.

 

Waktu akhir hidup-Nya

(Ibr. 5)

 

Pada permulaan, pemberitaan Yesus sangat berhasil, dan Ia dapat belajar dari pengalaman yang baik itu (lih. di atas ten-tang Mrk. 1). Tetapi meskipun tidak ada keharusan apapun bahwa ini terjadi, di kemudian hari reaksi orang dan nasib-Nya berubah, memburuk dengan keras.

 

Dalam konteks di mana Kristus disamakan dengan Imam Besar, secara eksplisit dinyatakan oleh penulis Surat kepada orang Ibrani bahwa Ia belajar. Bagian Ibr. 5:5–10 berbunyi begini: "Demikian pula Kristus tidak memuliakan diri-Nya sendiri dengan menjadi Imam Besar, tetapi yang berfirman kepada-Nya: 'Anak-Kulah Engkau! Pada hari ini Aku telah memperanakkan Engkau' [Mzm. 2:7]; sebagaimana Ia juga berfirman dalam suatu (nas) lain: 'Engkaulah Imam untuk se-lama-lamanya, menurut peraturan Melkisedek' [Mzm. 110:4]: Yang pada hari daging-Nya telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratapan kuat dan air mata kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan; dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah mempelajari ketaatan dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah dibuat menjadi sempurna, Ia menjadi penyebab keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya, dipanggil oleh Allah 'Imam Besar menurut peraturan Melkisedek'."

 

Teks ini pula penuh renungan kristologis (lih. di atas tentang Luk. 2). Sebutan 'Imam Besar' berarti untuk Kristus sebab Ia – sesuai dengan tugas Imam Besar biasa – mempersembah-kan korban karena dosa manusia. Berbeda dengan Imam Besar biasa yang sebenarnya tak berdaya dan harus men-jalankan tugasnya berulang-ulang, Kristus hanya memper-sembahkan satu kali satu korban saja yaitu diri-Nya sendiri, dan Ia masuk ke dalam sorga dan duduk di sebelah kanan Allah untuk selama-lamanya (bdk. Ibr. 9:11–10:18). Ia di-sebut Imam Besar 'menurut peraturan Melkisedek' karena berasal dari suku Yehuda dan tidak dari keturunan Lewi (lih. tafsiran Kej. 14:18–20 tentang Melkisedek yang memberkati Abram dan mendapat sepersepuluh dari rampasannya dalam Ibr. 7).

Yang menarik dalam Ibr. 5:5–10, ditemukanlah lagi baik penekanan pada keagungan Kristus yang diperkenalkan sebagai 'Anak' dan 'Imam Besar menurut peraturan Melkisedek' maupun pada kelemahan-Nya sebagai manusia yang berbadan, menderita keras dan akan meninggal. Yesus digambarkan sebagai seorang manusia yang sebenarnya menginginkan pengalaman lain untuk kehidupan-Nya, tetapi harus "mempelajari ketaatan" (Ibr. 5:8). Namun, perkem-bangan konsep sistematis ini bukan tujuan terakhir penulis surat, teologi ini dikembangkan untuk melayani warga jemaatnya pada waktu yang penuh kesusahan. Maksud penulis adalah pedagogis: "Karena kita sekarang mem-punyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, marilah kita berpegang pada pengakuan. Sebab kita tidak mempunyai Imam Besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya Ia telah dicobai dalam segala hal menurut kesamaan(-Nya), (tetapi) tanpa dosa." (Ibr. 4:14–15, bdk. ayat 16 juga).

 

Penutup

 

Dengan sedikit memperluas maksud penulis Surat kepada orang Ibrani, dapat dikatakan penulis ini ingin menguatkan hati warga jemaat dengan argumen bahwa kita memiliki Kristus sebagai Imam Besar yang tahu dari pengalaman sendiri (bdk. Ibr. 2:17–18) bagaimana kehidupan manusia, bagaimana perasaan tak berdaya dan membutuhkan bantu-an (Luk. 2), bagaimana perasaan menjadi kuat dan aktif sendiri (Mrk. 1; Mat. 3–4), bagaimana perasaan dikalahkan oleh orang lain dan mengubah pikirannya (Mrk. 7), bagai-mana perasaan diterima (Mrk. 1) dan ditolak, bagaimana perasaan sakit dan frustrasi, apalagi tahu akan kematiannya yang kejam dan terlalu cepat (Ibr. 5). Yesus belajar melalui keadaan yang berbeda-beda itu, seumur hidup-Nya.

Bagaimana dengan kita?