Sebuah fenomena menggelitik dalam dinamika
GKE sekarang ini adalah meningkatnya minat pendeta GKE dalam dunia bisnis
ditengah pelayanan “sorgawi”. Ada
yang giat disektor dagang, industri perkebunan dan pertanian, pengecer BBM,
bidang jasa/sewa, distributor obat tradisional sampai pakaian, dll. Prinsip
utama yang memotivasi hasrat berbisnis ini adalah uang (tulisan ini melihat
uang dan bisnis sebagai satu koin) adalah kebutuhan dasar plus “sekunder”
keluarga. Uang adalah persoalan penting baik bagi suksesnya sebuah pelayanan
maupun kesejahteraan hidup keluarga pendeta. Uang bisa meningkatkan kharisma
pendeta, dan keliru ketika uang hanya untuk meningkatkan status ekonomi. Dalam
bahasa gereja, uang ini penting agar misi pelayanan tercapai.[1]
Dalam motivasi dan pemahaman tersebut, uang bisa dimaknai secara positif dan
negatif. Dengan demikian, bisnis sepertinya bisa dijalankan oleh pendeta atau
organisasi gereja sejauh ada dasar argumentatif dan bermakna positif dan
konstruktif bagi jemaat. Persoalannya
adalah bagaimana mengargument sebuah bisnis pendeta sebagai sesuatu yang
positif dan konstruktif dari sudut etika Kristen?
Sebagai landasan memahami diskusi ini, perlu dibatasi
bahwa bisnis adalah sebuah usaha atau kegiatan untuk memperoleh keuntungan
secara finansial atau bersifat komersial. Bisnis menempatkan “sistem ekonomi
dan keuntungan” sebagai landasan bergerak dan tujuan beraktivitas. Perusahaan
besar seperti perkebunan karet dan pertanian hingga “warung” dan penyalur
eceran BBM adalah kategori bisnis. Dalam ranah praktis seorang pekerja seperti
politikus dan kepala desa hingga seorang guru dan buruh tani adalah pengelola
dan pelaku bisnis. Dalam menjalanakan sistem ekonomi dengan tujuan mencari
keuntungan “upaya apapun bisa dilakukan”. Dalam pandangan gereja yang
fundamental, bisnis juga seringkali dianggap sesuatu yang kotor atau nir-etis.
Dalam perspektif ekonomi, etika yang diaplikasikan adalah etika yang
mendatangkan keuntungan. Dalam dimensi bisnis tersebut, persoalan yang muncul
adalah apakah gereja dan pelayanan pendeta yang didasarkan panggilan Allah
dengan misi utama adalah pertobatan, keselamatan dan kasih termasuk dalam ranah
bisnis!
Dalan perspektif
S. Saut (Pendeta
Berbisnis, Haram atau Halal) Tidak ada konsep bisnis yang menghendaki rugi,
atau mengalah; yang ada di dalam bisnis mengalahkan dan menghancurkan. Adam Smith
seorang pakar dan Bapa Ekonomi mengatakan bahwa prinsip ekonomi itu adalah
dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya. Kalau sudah demikian, maka kejujuran itu sudah sulit
dipertahankan. Jadi dengan kata lain omong kosong dengan bisnis yang non profit
atau sekedar sampingan, tetap saja perlu profit. Sering kali perusahaan yang
menamakan diri non profit termasuk gereja malah uangnya lebih banyak, karena
ternyata banyak orang yang menaruh belas kasihan dan memberikan persembahan.
Dalam perspektif sekuler ini, bisnis nampaknya tidak etis dilakukan oleh
seorang pendeta dan lembaga gereja. Karena itu ada baiknya nast-nast Alkitab
dikemukakan untuk melihat dinamika positif dalam bisnis, sehingga terbuka
kemungkinan bagi gereja untuk melihat bisnis sebagai bentuk pelayanan kepada
jemaat, mewujudkan salom bagi dunia dan sarana memuliakan Allah.
Teori
Pertimbangan Etis Pendeta Berbisnis
Apakah Etika?Pada dasarnya mendefiniskan pengertian etika tidaklah mudah. Etika
berasal dari bahasa Yunani ethos
berkaitan dengan budi perkerti
baik/kesusilaan dalam sikap batin
atau kecenderungan/cara berpikir.
Dalam etika kita berbicara tentang kesusilaan sebagai sikap batin,
kecenderungan/cara berpikir dan kebiasaan baik yang kita miliki bersama dan
dalam hubungan dengan yang lain, maupun yang kita miliki sebagai milik pribadi.
Jadi, etika pada dasarnya adalah standar yang digunakan untuk berlaku benar,
baik dan tepat sekaligus sebagai indikator untuk bisa menilai bahwa sikap dan prilaku
seseorang itu benar, baik dan tepat.[2]
Banyak standar kewajiban (hukum) yang bisa
digunakan sebagai cermin dan penilai etika seseorang misalnya Kebiasaan dan
Adat Masyarakat, Hak Asasi Manusia, Peraturan Pemerintah atau Hukum-hukum Agama.
Namun demikian ada juga yang menggunakan standar akibat. Ketika tindakan
seseorang membuat orang lain atau lingkungannya nyaman, sejahtera dan damai,
maka orang tersebut beretika. Sebagian kecil orang mendefinisikan etika dari
sudut hati nurani dan kebutuhan hidupnya secara ekonomi, politik, sosial dan
spiritual. Etika seperti ini sangat individual dan mementingkan diri sendiri.
Pada sisi lain, penilaian etika adalah standar konteks/situasi ”bisa diterima
oleh sekelompok atau sebagian besar masyarakat” baik pada lokus tertentu maupun
global.
Apakah etika bisnis? Ketika
Sosiolog Raymond Baumhart menanyakan
kepada orang-orang bisnis, ”apakah etika menurut saudara?" Diantaranya menjawab demikian:
"Ethics
has to do with what my feelings tell me is right or wrong."
"Ethics has to do with my religious beliefs."
"Being ethical is doing what the law
requires."
"Ethics consists of the standards of behavior our
society accepts."[3]
Jawaban para kaum bisnis tidak
jauh dari harapan dan panduan etika secara umum. Pada dasarnya, etika bersandar
pada standar nilai seperti kesetian, pengabdian, kejujuran, kasih dan keadilan.
Bagaimanapun standar-standar hak-hak manusia seperti hak hidup, berpendapat dan
memiliki juga menjadi pertimbangan yang penting. Nilai-nilai seperti ini sangat
argumentatif, bisa diterima dan mempunyai dasar yang universal bagi semua
orang. Karena itu sikap dan prilaku seperti ketidaksetiaan, individualis, mata
duitan, serakah, pencurian, penipuan, korupsi dan penindasan harus dihindari.
Nilai yang baik yang harus diterapkan dan nilai yang tidak baik harus dihindari
berlaku bagi semua orang, tidak terkecuali pendeta dan pebisnis.
Alkitab juga memberi gambaran
yang sangat jelas bagaimana seorang Kristen bersikap dan berprilaku sebagai
seorang yang percaya kepada Allah. Nilai-nilai yang paling hakiki bagi etika
kristen adalah kasih dan keadilan. Ketika sikap dan prilaku sesorang didasarkan
pada kasih dan keadilan, dia telah mengaplikasikan etika Kristen dengan baik.
Etika ini akan lebih sempurna ketika orang yang dia perlakukan menerapkan kasih
dan keadilan bagi orang lain. Sehingga pada akhirnya, semua orang mendasarkan
hidupnya dan mengharapkan akibat dari hidupnya pada kasih dan keadilan. Tentu
saja ada nilai-nilai penting lainnya yang dicatat oleh Alkitab, tetapi kedua
nilai ini sudah mewakili semua nilai yang ada.
Dalam dunia pelayanan gereja dan bisnis,
standar nilai tersebut harus menjadi panduan bisnis. Seorang pendeta – berbisnis
maupun pendeta – full pelayanan harus mengutamakan nilai kasih dan, keadilan, juga
kesetian dan kejujuran. Ketika pendeta dan semua orang menilai dan mengakui
binis pendeta merupakan wujud kasih dan keadilan serta mendatangkan kebaikan
dan damai sejahtera bagi semua, silakan melanjutkan tugas mulia tersebut.
Sebaliknya, ketika pendeta menyadari dan mengakui bahwa bisnis yang dia lakukan
untuk kepentingan diri, ambisi jahat dan dorongan mamon, lebih baik kembali ke
”jalan benar”. Ketika anggota jemaat menilai bahwa bisnis sang pendeta
mengkhinati pelayanan, tidak adil kepada jemaat dan bukan sebagai ungkapan
kasih kepada Tuhan,ada baiknya sang
pendeta ”bertobat”.
Dalam pengambilan keputusan antara berbisnis atau
full melayani, atau antara berhenti berbisnis dan meluaskan jaringan bisnis,
kita bisa memanfaatkan sumber-sumber bantuan pengambilan keputusan etis
Kristen; Doa, Ibadah, Saat Teduh, Roh Kudus, Gereja dan Alkitab.[4]
Verne Fletcher mengingatkan bahwa Yesus sedikitnya memberi dua panduan terkait
dengan pengambilan keputusan etis di bidang bisnis. Pertama, Yesus mengesampingkan kekuasaan, kejayaan dan gengsi
sebagai pertanda pemerintahan Allah hadir di dunia bagi orang-orang tertindas
dan miskin. Kedua, Yesus menisbikan
segala kemutlakan buatan manusia serta bergumul melawan segala kuasa kejahatan
dan nafsu harta duniawi.[5]
Ingatlah bahwa ”Kita tidak mungkin selalu mengambil keputusan yang sempurna.
Namun ketika setiap keputusan yang diambil adalah tanggapan iman atas dasar dan
tujuan kasih dan keadilan,Tuhan akan
memberkati.”
Pemahaman di atas membawa kita kepada pertimbangan-pertimbangan
umum bagi pengambilan keputusan etis Kristen di dunia bisnis:
Titik tolak keputusan etis Kristen adalah iman kepada anugerah dan
kehendak Allah di dalam Yesus Kristus yang mencakup nilai-nilai kasih,
kebenaran, pengampunan, damai sejahtera dan keadilan. Keputusan etis dalam
bisnis harus mendahulukan apakah yang Allah lakukan dan apakah yang jemaat
harapkan bukan apa yang saya lakukan dan saya harapkan.
Pengambilan keputusan etis dalam dunia bisnis bagi pendeta selalu
melibatkan hati nurani dan bertujuan membuat orang lebih kasih, adil, baik
benar dan beriman. Karena itu, keputusan etis menyangkut pertimbangan apa
yang benar, baik, adil dan luhur. Itu berarti bahwa keputusan etis
berbisnis kita tidak mungkin dipengaruhi hanya oleh norma-norma yang
dipertimbangkan oleh pengertian dan keinginan kita.
Pengambilan keputusan etis bersifat win-win solution, diarahkan guna
penyelesaian yang terbaik bagi semua pihak. Ketika seorang pendeta
terlibat dalam bisnis, harus memberikan kepuasan dan keadilan kepada
jemaatnya, atau sebaliknya ketika pendeta hanya full dalam pelayanan
jemaat, harus memberikan kepuasan dan keadilan kepada dirinya dan
keluarganya. Itu berarti bahwa pengambilan keputusan yang etis adalah
pengambilan keputusan yang dilakukan berdasarkan keputusan bersama yang
dilakukan secara musyawarah dan kekeluargaan.
Uang adalah
(7) utama dalam pelayanan gereja dan hidup pendeta.
Bagian ini ingin melihat secara sederhana beberapa
realitas yang terjadi dalam kehidupan GKE yang membenarkan bahwa bisnis dan
uang adalah persoalan yang mendasar bagi kelangsungan pelayanan dan kehidupan
pendeta GKE. Dari sekian banyak realitas, penulis mengetengahkan tujuh (7) fenomena
sebagai awal pemikiran untuk membuka pemahaman kita bagi diskusi yang lebih
akademis, experiental dan benar.
Kemandirian
dana termasuk indikator gereja yang sehat, diberkati dan mandiri. Dalam prinsip GKE
dana cenderung menjadi prioritas terpenting ketiga bagi pertumbuhan
gereja.
Kekuatan
dan kemampuan sebuah resort/jemaat cenderung diindikasikan oleh
kemampuannya untuk memberikan setoran sesuai dengan kesepakatan ke Majelis
Sinode.
Pemilihan
tempat pelayanan oleh sebagian pendeta bukan karena “kebutuhan jemaat”,
tetapi karena “kantong jemaat” (tempat basah dan tempat kering). Pola
penggembalaan pendeta kadang-kadang dijalankan dengan prinsip kantong
jemaat bukan karena kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi oleh jemaat.
Berimigrasinya
pendeta menjadi PNS, pekerjaan swasta, anggota DPRD, anggota KPU bisa jadi
mengindikasikan bahwa uang sebagai keamanan hidup masa depan lebih penting
dalam keluarga pendeta.
Pendeta
adalah pekerjaan professional yang membicarakan tentang sorga, keselamatan
dan salom yang seharusnya perlu digaji setingkat pengacara atau dokter.
Pendeta adalah pekerja yang sangat diperlukan oleh jemaat dan masyarakat,
bahkan pendeta (pemimpin agama) menjadi mediator yang paling tepat bagi
pemerintah dan rakyat.
Khotbah
dan pelayanan-pelayanan gereja dimotivasi oleh “amplop – honor”. Hasil
pengamatan mengindikasikan bahwa motif ini mejadi semakin dominant
terutama di wilayah kota.
Dipedesaan motif ini sangat rendah karena tidak mungkin (budaya malu)
pendeta menerima amplop dari jemaat lebih miskin dari dirinya.
Ada jemaat-jemaat GKE yang membiayai
keperluan pelayanan dari bisnis gereja; perkebunan, simpan pinjam
(koperasi), jasa/penyewaan (gedung, transportasi, yayasan, pendidikan,
advokasi, krisis center) dan proyek pemerintah.
Uang adalah
(7) dampak atau bukti pelayanan, uang bukan terutama.
Kemapanan
dan kulitas pelayanan seorang pendeta seperti yang tertuang dalam kode
etik pendeta GKE bebas kaitannya dari “standarisasi kekayaan”. Secara
etis, citra seorang Pendeta dalam hidup bermasyarakat adalah tidak
terlibat dalam perbuatan yang tercela seperti perjudian, pencurian,
penipuan, perampokan, korupsi, kolusi, nepotisme, mabuk dan narkoba, serta
merokok di tempat umum.
Kualitas
dan pertumbuhan gereja yang sehat dan diberkati bagi banyak gereja-gereja
GKE tidak diukur dari besarnya anggaran; tetapi diukur dari kualitas
program-program yang terlaksana.
Banyak
jemaat GKE yang seringkali membuat program-program tahunan yang ideal
tanpa mempertimbangkan apakah ada dana bagi program-program tersebut.
Prinsip yang dipakai adalah jika ada program, uang akan datang. Realitas
ini bisa kita lihat pada kasus-kasus pembangunan gereja, ada tanah atau
ada fondasi sedangkan dana menyusul!
Selama
kebutuhan dasar keluarga pendeta tercukupi, maka pendeta setia dalam
pelayanan kependetaannya. Kebutuhan dasar dimaksud adalah makanan, pakaian,
perumahan (pastori) dan pendidikan anak minimal lulus SLTA. Kebutuhan
dasar ini secara murni berasal dari pemberian jemaat (gaji dan ucapan
syukur).
Gaji
pendeta mastinya menyesuaikan dengan kemampuan dan kehidupan anggota
jemaatnya. Secara etis, pendeta tidak boleh lebih kaya dari anggota
jemaatnya.
Pendeta
yang ideal, gajinya hanya berasal dari jemaat dimana dia melakukan
pelayanan. Atau dalam kasus GKE, penghasilan pendeta berasal dari gereja
dan pemberian jemaat, bukan karena bisnis sampingan.
Tugas
utama gereja/pendeta adalah pelayanan Firman dan Sakramen, pemberitaan
Injil dan menghadirkan Kerajaan Allah dengan gaya hidup sederhana (atau menderita).
Misi utama gereja bukan uang.
Allah
menciptakan segala sesuatu cukup demi kesejahteraan manusia (Kej. 1-2).
Jadi seberapapun besar gaji seorang pendeta, Allah pasti memberikan
jaminan secukupnya.
Kehidupan
para imam (pendeta) harus dijamin oleh umat dan negara (dari perpuluhan
-Kitab Imamat)
Para nabi-nabi perjanjian lama mengecam para imam
(pendeta) yang korup dan rakus (Nabi-nabi)
Yesus
mengkritik pemimpin religius yang senang dipuji dan “marah” dengan para
pelayan uang bait Allah (Mrk. 11:15-18)
Ajaran
Yesus bagi semua orang percaya adalah peningkatan produksi secara maksimal
(Mat. 25:14-30), berbagi dengan orang lapar (Mrk. 6:30-44) dan manajemen keuangan yang
bertanggung jawab (Luk. 16:1-9)
Ajaran
Paulus untuk berbagi dengan gereja secara jujur dan benar (Kis. 5:1-11),
saling berbagi dengan sesama (Kis. 2 dan 4), bekerja untuk memperoleh
hasil maksimal (II Kor.9:7) dan hidup secara sederhana sebab kita tidak
membawa apa-apa ketika datang kedunia dan tidak membawa apa-apa ketika ke
luar (I Tim 6:7).
Teladan gaya hidup Yesus,
para murid, dan para rasul yang sederhana, rendah hati, tidak kuatir tapi
kebutuhan dasar hidup terpenuhi.
Pertimbangan
Etis Kristiani yang Kontekstual
Alkitab sendiri sebenarnya tidak melarang seorang pendeta untuk berbisnis.
Sebagai pertimbangan etis ada baiknya kita renungkan pemahaman bahwa pendeta
adalah seorang yang “khusus dan kudus” di mata jemaat. Ketika bidang “bisnis” pendeta
adalah menjala orang dan menghadirkan kerajaan Allah, ada baiknya pendeta setia pada panggilannya dan menjauhkan
diri dari ranah “bisnis finansial”. Seterusnya, ketika seseorang berkomitmen menjadi pendeta, sebaiknya dia
tidak berkomitmen menjadi direktor perusahaan atau manejer toko “serba ada”.
Pertimbangan ini agar pendeta tidak mendua. Pendeta mesti menghindari diri
sebagai “penjala ikan” dan “penjala manusia” secara bersamaan.
Paulus memang memberikan gambaran bahwa dia adalah
seorang pebisnis tenda. Namun tugas utamanya sebagai penginjil dan pelayan
jemaat tidak pernah ditelantarkan. Demikian pula hasil bisnis tendanya,
semuanya diperuntukan bagi dana penginjilan. Keuntungan bisnisnya bukan untuk
membangunrumah pribadi yang megah, bukan
untuk membeli mobil, bukan untuk adu gengsi dan bukan pula untuk kantong
pribadinya. Sangat jelas, bahwa keuntungan bisnis Paulus masuk kedalam kas jemaat
sehingga pelayanan semakin mantap. Jadi, pendeta dipersilakan berbisnis, namun hasilnya dicatat dalam kas
jemaat dan diperuntukan bagi pelayanan gereja. Dalam kerangka ini kita bisa
menerima bahwa lembaga gereja/jemaat boleh berbisnis (jasa, rumah sakit,
perkebunan, dll), karena keuntungannya masuk kas gereja dan sepenuhnya bagi
pelayanan. Yang
perlu dicatat adalah nilai keadilan dan kasih harus menjadi pertimbangan gereja
dalam berbisnis. Mau tidak mau, keadilan dan kasih seorang pendeta atau lembaga
gereja harus berdampak bagi jemaat dan keluarganya.
Dalam pergumulan para pendeta GKE ada baiknya kita
mempertimbangkan bahwa pendeta
diperbolehkan berbisnis ketika jemaat tidak bisa memberikan jaminan hidup
kepada pendeta dan keluarganya. Jemaat tidak mampu memenuhi standard gaji
menurut ketentuan GKE. Dalam situasi ini, kita bisa memberikan dukungan etis
bahwa pendeta layak berbisnis, tanpa harus berimigrasi menjadi “pekerja lain”.
Dalam proses ini perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Bisnis pendeta sebaiknya mendapat persetujuan atau didiskusikan baik
dengan jemaat maupun resort/sinode.
Bisnis yang dijalankan pendeta hendaknya juga mempertimbangkan konteks
jemaat sehingga bisa memberikan keuntungan bagi anggota jemaat. Konteks ini melingkupi jenis dan tata
cara bisnis, kemungkinan persaingan/konflik dengan anggota jemaat dan
tenaga kerja.
Prinsip
etika bisnis yang juga perlu dicatat bahwa bisnis yang dijalankan memiliki
dampak penginjilan dan dampak sosial. Pendeta harus bisa menempatkan
bisnis sebagai sarana mendirikan kerajaan Allah dan mewujudkan salom di
tengah jemaat dam masyarakatnya.
Secara
teologis, pendeta sebagai pelaku bisnis juga harus ingat bahwa kapasitas
dia bukan sebagai pemilik tetapi sebagai pengelola (Kej. 1:28). Bisnis adalah upaya
pendeta GKE untuk membuktikan bahwa nilai ciptaan Allah adalah demi damai
sejahtera.
Nilai-nilai
Alkitabiah yaitu kesederhanaan, kejujuran, keadilan, memberi dan kasih
harus menjadi bagian integral dari bisnis pendeta. Kesombongan dan
konsumerisme harus dihindarkan dalam kehidupan pendeta, kendatipun dia
sudah menjadi pebisnis yang sangat berhasil.
Dari pengalaman
penulis melalui diskusi yang hangat dengan para pendeta GKE dan kawan-kawan
yang studi pasca sarjana di STT GKE, sebuah argument ditawarkan. Selama tugas dan pelayanan sebagai pendeta
tetap dijalankan dengan baik, bisnis diperkenankan bagi seorang pendeta. Argument ini cenderung
didasarkan bahwa pendeta juga layak hidup berada; ada mobil, ada rumah, dan ada
status sosial. Gaya hidup modern dan standar ”identitas ada” mesti terintegrasi
dalam kehidupan dan pelayanan pendeta. Persoalannya adalah apakah lingkup tugas
dan panggilan pendeta? Menurut Calvin, karakater utama dari tugas panggilan
pendeta adalah pemberitaan Firman, melayani Sakramen dan kunjungan pastoral. Jadi, kapanpun jemaat memerlukan ketiga
tugas utama tersebut, pendeta harus siap dan mengorbankan bisnisnya. Tugas
mendasar lainnya seperti administrasi dan kepemimpinan dikerjakan sesuai dengan
prosedur. Tapi apakah tugas pelayanan pendeta sesederhana itu? Berapa waktu
yang diperlukan untuk membuat khotbah yang baik untuk ibadah minggu dan
keluarga? Bagaimana
kalau ada anggota jemaat yang meninggal, berapa hari kita harus berempati? Bagaimana
membagi waktu bagi katekesasi sidi, nikah dan baptisan? Berapa sore yang kita
perlukan dalam setahun untuk mengunjungi keluarga dengan jumlah 100 KK di
jemaat? Belum lagi soal konseling dan doa pribadi, mengunjungi yang sakit,
pelatihan, sidang jemaat, sinode resort, menyusun program tahunan, kebaktian
kategorial dan berbagai pelayanan lainnya.
Bayangkan saja, jika sang pendeta berbisnis, apakah jemaat bisa terlayani
dengan baik? Karena itu Yesus Kristus dan Rasul Paulus (1) memberikan diri
secara penuh dalam pelayanan. (2)
Berkeluarga dihindari. (3) Tidak ada kamus untuk mengumpulkan harta. (4)
Bersikap jujur dalam semua aspek pelayanan, termasuk keuangan. Dengan hidup
sendiri, dan tanpa bisnis yang cenderung memperkaya diri, pelayanan kepada
jemaat dan masyarakat belum sepenuhnya bisa dilaksanakan oleh Paulus. Gaya hidup sederhana,
namun pelayanan sukses dan diberkati adalah model Alkitabiah yang ditawarkan
Yesus dan Paulus sebagai seorang pendeta. Ada
baiknya kita benar-benar berpikir untuk menjadi pendeta yang sepenuh dan baik,
kalau mau berbisnis lebih baik pertimbangkan kependetaan kita. Atau sebaiknya, pendeta
pandai-pandai mengadakan pendekatan pastoral dan spiritual kepada pengusaha dan
boss. Percaya! bahwa “hidup berada” bisa diperoleh dengan melaksanakan tugas
kependetaan secara kasih, taat dan maksimal.
Penutup
Tulisan ini memberikan pertimbangan etis kepada pendeta dalam berbisnis. Argument-argument etis yang diberikan pada
tulisan ini masih terbatas. Bagaimanapun, pertimbangan yang mau disampaikan bahwa
pendeta dimungkinkan untuk berbisnis dengan argument yang bisa ditoleran. Kasih
dan keadilan sebagai nilai utama bagi jemaat Tuhan seharusnya menjadi standar
dan prioritas, bukan gaya hidup modern yang konsumerisme dan individualisme. Idealnya
pendeta mengkhususkan diri pada tugas penggilannya sebagai pelayan yang
dipanggil oleh Allah, diutus oleh gereja dan dibiayai oleh jemaat. Tugas
panggilan pendeta sangat mulia untuk “menghadirkan Kerajaan Allah dan
kebenarannya, maka semua akan ditambahkan kepadamu” (Mat. 6:23); dan menjadikan
jemaat sebagai umat yang terpilih, imamat rajani dan umat kudus kepunyaan Allah
(I Pet. 2:9); dan menyampaikan kabar baik pada orang miskin, tertawan,
tertindas, yang sakit dan memberitakan rahmat Tuhan telah datang (Luk.
4:18-19).
[1] Perlu ditegaskan bahwa banyak aspek dalam
gereja dipandang sebagai proses bisnis; gereja mempunyai asset untuk ditata,
pendeta dan karyawan untuk dibayar, anggota jemaat yang menuntut
pertanggungjawaban terhadap kontribusi mereka. Dalam konsep gerejani, pemimpin
yang berjiwa bisnis adalah Alkitabiah; Yesus sendiri mengajar dengan jelas
tentang perkaran uang dan perjalanan penginjilannya selalu dimanagement oleh
seorang muridnya sebagai bendahara. Juga sangat kontekstual ketika GKE
mampu berbisnis bagi kemandirian Sinode, Resort dan Jemaat di Kalimantan.
[2] Bdk. Phil. Eka
Dharmaputera. Etika Sederhana Untuk
Semua, Perkenalan Pertama. Jakarta BPK Gunung Mulia, 1988. 9; Malcolm
Brownlee. Pengambilan Keputusan Etis dan
Faktor-faktor di Dalamnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993. 16-17
[3]http://ethics.ws/. Etika
Untuk Kalangan Profesional Bisnis. Diakses, tanggal 11 Agustus 2008.
[4]Bdk. Malcolm Brownlee. Pengambilan
Keputusan Etis dan Faktor-faktor di Dalamnya. 243-252
[5] Bdk. Verne H. Fletcher. Lihatlah Sang Manusia. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2007. 301-391
[6] Bdk. Noyce, Gaylord. Pastoral Ethics: Professional Responsibility of the Clergy. Diterjemahkan
oleh Abednego, B.A., Tanggung Jawab Etis
Pelayan Jemaat. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1999. Gaylord memberikan perspektif praktis dan Alkitabiah
tentang tanggung jawab pendeta sebagai pelayan Jemaat.