GAGASAN
ESKATOLOGI PAULUS DAN MAKNANYA
BAGI JEMAAT
PADA MASA KINI
Oleh. Pdt.
May Linda Sari, MTh
I.
Pendahuluan
Penelusuran terhadap pemikiran eskatologi Paulus tidak bisa
dilepaskan dari perkembangan pemikiran yang ada di sekitar kehidupannya dan
yang membingkai pemahaman masyarakat pada jamannya. Dengan mendasarkan diri
pada pengakuan seperti tersebut di atas, maka disadari betul bahwa untuk
mengenal apa dan bagaimana konsep dan pengajaran yang dipegang oleh Paulus,
harus dijabarkan dulu situasi yang melatar-belakangi kemunculan ajaran tadi.
Secara umum diketahui bahwa Paulus
hidup di dalam percampuran budaya yang sangat kental. Pada satu sisi ia berasal
dari daerah Tarsus yang sejak pendudukan Alexander Agung sekitar
abad ke 4 sM telah didominasi oleh kebudayaan Yunani. Tapi pada sisi lain
Paulus dididik dalam keluarga yang sangat kuat memegang adat istiadat Yahudi.
Paulus sendiri selalu mengatakan dirinya sebagai bagian dari umat Israel (Lih.
Roma 9-11) dan dalam beberapa hal masih menjunjung tinggi warisan ke-Yahudian
seperti yang tampak dalam surat-suratnya.
Percampuran budaya seperti yang dialami oleh Paulus tentu saja
mempengaruhi pemikirannya. Ada
kalanya satu tema pengajaran yang dibuatnya merupakan perpaduan dari berbagai
macam ajaran. Salah satu wujud percampuran itu bisa dilihat dari gagasan eskatologi.
Istilah Eskatologi secara harfiah diartikan sebagai ilmu yang
berbicara tentang hal-hal yang terakhir. Meskipun demikian eskatologi tidak
melulu berbicara mengenai hari kiamat
atau akhir dunia. Keadaan akhir
dunia hanya salah satu aspek dari beberapa aspek yang dibicarakan dalam eskatologi. Jadi, ketika Paulus
berbicara tentang eskatologi, ruang lingkupnya sangat luas. Dan seperti yang
telah disebutkan di atas, pemikiran eskatologi Paulus tidak bisa dilepaskan
dari pemahaman Yahudi dan Yunani. Untuk lebih memudahkan kita memahami apa saja
faktor yang mempengaruhi gagasan Paulus, maka sengaja akan diuraikan tentang
gagasan eskatologi pra-Paulus yang terdiri dari pemikiran dalam PL, Apokaliptik
dan Yesus.
II. WAWASAN
ESKATOLOGI PRA-PAULUS
2.1 Menurut
Tradisi Perjanjian Lama
Sebenarnya gagasan eskatologi dalam PL terbentuk pada masa
pembuangan yang dipelopori oleh Deutero-Yesaya. Hal utama yang diangkat oleh
Deutero-Yesaya adalah pengharapan akan datangnya jaman baru yang keadaannya
berbeda dengan jaman ini. Pemikiran ini memunculkan konsep tentang dua dunia (Yes.40:1-2, 3-5, 6-8).
Dikatakan jaman ini adalah kegelapan dan dikuasai oleh dosa sedangkan jaman
yang akan datang merupakan “jaman kemurahan” dan “hari keselamatan” (Yes.49:8
bnd. 51:17-23)
Setelah pembuangan, ide tadi
diteruskan oleh Hagai dan Zakaria (Hag. 2:15-19; Zak.1:1-6). Kedua nabi ini
mengungkapkan bahwa jaman ini telah berakhir sejalan dengan intervensi Yahwe
melalui penghukuman terhadap Yehuda dalam peristiwa pembuangan. Jaman yang akan
datang telah begitu dekat dan ini berarti tidak lama lagi umat Yehuda akan
memasuki jaman baru.
Pemahaman ini ditindaklanjuti dalam
peristiwa pembangunan kembali Bait Allah dan bertitik tolak pada pembaharuan
Bait Allah itu pulalah ada keyakinan bahwa umat Israel sekarang benar-benar
berada di penghujung penderitaan dan tidak lama lagi berkat-berkat Allah akan
dicurahkan sesuai dengan firman :”sejak hari ini Aku akan memberkatimu”.
Hanya saja konteks eskatologi ini masih bersifat terbatas dan berciri
nasionalistis, artinya semua janji itu hanya berlaku bagi umat Israel.
Sejalan dengan pemikiran di atas,
maka Georg Fohrer selanjutnya mengatakan bahwa struktur eskatologi dalam PL
pada intinya mencakup konsep memgenai dua dunia yang bersifat imanen. Jaman
sekarang adalah jaman yang jahat sehingga segala perbuatan dosa yang terjadi di
dalamnya harus mendapat hukuman. Umat Israel juga berdosa sehingga mereka
harus mengalami pembuangan. Umat Israel saat ini berada tepat di
antara akhir jaman kini dan awal jaman baru. Bila jaman baru itu tiba, mereka
menjadi umat pertama yang menerima keselamatan dari Allah.
Aspek kedua dalam gagasan eskatologi
PL adalah munculnya pengharapan Mesianis yang lebih populer pada masa setelah
pembuangan. Istilah “Mesianis”diartikan sebagai “orang yang diurapi Yahwe”.
Pada awalnya ia merujuk pada figur seorang raja dari keturunan Daud tetapi
dalam perkembangan selanjutnya diarahkan pada seorang imam. Pada intinya
“mesias” adalah figur eskatologis yang memiliki hubungan akrab dan khusus
dengan Yahwe.
Mula-mula figur Mesias digambarkan
sebagai manusia biasa tetapi karena pengaruh apokaliptik, Mesias kemudian
digambarkan sebagai sosok yang memiliki kekuatan supranatural. Tugas mesias
adalah mempersiapkan jalan bagi pemerintahan Allah yang akan datang.
Aspek eskatologi lain yang
dibicarakan dalam PL adalah masalah kebangkitan orang mati. Sebenarnya PL tidak menganggap kematian
sebagai masalah serius. Kematian baru dianggap negatif bila menimpa seseorang secara
tiba-tiba atau suatu kematian prematur (Yes.38:10; Maz.102:25). Ketika
seseorang mati, maka eksistensinya sudah tidak ada lagi (Maz.39:14; 103:16), ia
berada di suatu tempat yang terpisah dari orang-orang yang hidup; disuatu dunia
orang mati dan mereka tidak mungkin kembali (Ayub.7:9 dst; 10:21; 14:14
bnd. Maz.89:48).
Ide awal tentang kebangkitan orang
mati diungkapkan dalam Yes. 26:19. Kebangkitan di sini tidak dipahami sebagai
keadaan di mana orang mati memperoleh kehidupannya kembali di dalam dunia,
tetapi secara aktual dipahami sebagai suatu proses di mana seseorang mengalami
penciptaan baru dan hal ini dialami oleh semua mahluk hidup (Yeh.37:1-14) Yesaya 53:11 menyebutkan adanya kebangkitan
“orang banyak” yang berarti kebangkitan itu dialami oleh semua orang, entah ia
baik atau jahat. Jadi, gagasan mengenai kebangkitan sebenarnya merupakan
gagasan yang terlalu berani dalam PL. Hal ini terjadi karena PL belum memiliki
dasar yang kuat tentang keadaan orang yang dibangkitkan dan eksistensi kebangkitan yang sebenarnya.
Barangkali ide kebangkitan itu ingin menyatakan bahwa Yahwe adalah pemilik
hidup manusia dan yang tidak pernah meninggalkan umat-Nya.
Konsep tentang Kerajaan Allah juga sudah mulai dipahami oleh orang-orang Yahudi
walaupun istilah “Kerajaan Allah” itu sendiri tidak dicantumkan dalam PL. ada
dua pemahaman tentang Kerajaan Allah. Pertama, Allah dinyatakan sebagai Raja
yang memerintah Israel
(Kel. 15:18; Bil. 23:21; Ul. 33:5; Yes. 43:15) dan
juga seluruh bumi (2 Raja 19:15;
Yes. 6:5; Yer. 46:18; Maz. 29:10; 99:1-4). Di sini kekuasaan Allah diartikan
sebagai sesuatu yang benar-benar dialami dan berlaku di dunia nyata masa kini.
Dengan demikian Allah memposisikan diri sebagai Raja yang benar-benar ada dalam
sejarah yang diwakili oleh keturunan Daud (Yes. 9; 11).
Kedua, pengharapan bahwa
pemerintahan Allah berlaku di dalam sejarah manusia memudar ketika bangsa
Yahudi keluar dari pembuangan. Allah dikatakan akan menegakkan kerajaan-Nya
pada masa yang akan datang dan bukan pada saat ini. Ditambah dengan pengaruh
pemikiran Apokaliptik, maka Kerajaan Allah diartikan sebagai sesuatu yang
transenden sifatnya; jauh melampaui sejarah dan dihadirkan dalam figur Anak Manusia (Dan. 7).
2.2. Menurut
Sastra Apokaliptik
Kata Apokaliptik berasal
dari bahasa Yunani yang secara harfiah berarti menyingkapkan, membukakan; biasanya menunjuk pada sesuatu yang
sebelumnya tersembunyi tetapi kini telah disingkapkan. Istilah itu sendiri pertama-tama menunjuk
pada tulisan-tulisan yang berkembang pada kurun waktu yang disebut masa antar-Perjanjian yang terhitung kurang lebih dari abad ke 2 sM
sampai dengan abad ke 3M. tulisan ini tidak hanya memuat catatan-catatan
sejarah tertentu tetapi juga berisi tanggapan iman yang harus diperlihatkan
oleh bangsa Yahudi ketika mereka diperhadapkan dengan pelbagai keadaan yang
genting dan berbahaya.
Sastra Apokaliptik mempunyai
ciri-ciri tertentu, antara lain : memakai nama samaran, biasanya mencantumkan
penglihatan-penglihatan/visi yang bersifat rahasia, bahasanya bersifat mitos
dan kaya dengan simol. Banyak berbicara tentang sejarah, dunia yang akan datang
dan bersifat dualistik.
Sejalan dengan ciri-ciri tersebut di atas, maka wawasan eskatologi
sastra apokaliptik mencakup beberapa aspek, yaitu :
- Tentang dua dunia. Apokaliptik memandang sejarah dunia sebagai suatu
garis lurus (linear) yang bergerak lurus menuju pada suatu tujuan akhir.
Kaum Apokalitis berada di antara dua dunia, yakni dunia kini dan yang akan
datang. Dunia kini diyakini akan berlalu dan dunia yang akan datang segera
menggantikannya. Antara jaman ini dan jaman yang akan datang tidak ada
kontinuitas; jaman yang akan datang adalah jaman yang tidak memiliki masa
lalu.
- Pesimisme. Kaum Apokaliptis
memandang tidak ada hal baik yang bisa diharapkan dari jaman yang ada
sekarang.
- Klimaks eskatologi. Masa antara
yang memisahkan jaman kini dan yang akan datang ternyata menjadi masa
penderitaan, masa penghakiman (bagi musuh Allah) dan sekaligus juga
pengantar ke dalam masa keselamatan (bagi mereka yang percaya kepada Allah).
Periode antara ini dianggap sebagai puncak kesengsaraan.
- Jaman akhir yang akan segera
datang (Imanen). Di tengah krisis yang dialami oleh umat, muncul
pengharapan bahwa jaman yang penuh penderitaan akan segera berakhir.
- Supernatural dan dimensi kosmik.
Apokaliptik memandang segala peristiwa yang terjadi di dunia ini membawa
pengaruh bagi semua orang.
Dari beberapa
konsep apokaliptik di atas, jelas bahwa orientasi pemikiran kaum Apokalitis
selalu terarah pada apa yang akan terjadi
pada masa yang akan datang dan memandang hal-hal yang akan datang itu
sebagai sesuatu yang lebih baik daripada yang ada pada saat ini. Ini menyangkut masalah
eskatologi. Dengan lain perkataan, apokaliptik selalu berbicara tentang dimensi
keakanan yakni suatu kawasan ide yang berada jauh di atas kemampuan pikiran
manusia. Salah satu idenya adalah penegakan Kerajaan /
kekuasaan Allah pada masa yang akan datang yang ditandai dengan kehadiran langit dan bumi yang baru (Wahyu 21:1
dst)
Bumi yang baru merupakan tempat di mana seluruh rencana penebusan manusia
terlaksana secara sempurna. Allah akan berdiam bersama dengan manusia dan semua
janji-Nya kepada Abraham (Kej. 17:7), Musa (Kel. 6:7; Ul. 29:13) dan Daud (2
Sam. 7:24 dst.) berlaku
bagi semua umat bahkan perjanjian itu diperbaharui.
2.3. Menurut
Ajaran Yesus
Gagasan eskatologi menurut ajaran Yesus (sebagaimana terdapat dalam
Injil Sinoptik) berfokus pada masalah perwujudan Kerajaan Allah, suatu
pengharapan Mesianis saat kekuasaan Allah ditegakkan di dunia ini.
Yesus sendiri mengajarkan bahwa
Kerajaan Allah telah tiba di dunia bersamaan dengan kedatangan-Nya. Konsep
keselamatan yang ada di balik pengharapan eskatologi ini menekankan bahwa
kehadiran Yesus telah mengakhiri segala kejahatan yang ada di dunia. Perkataan
Yesus yang berbunyi “Aku sudah melihat iblis jatuh seperti kilat dari langit”
(Lukas 19:8) mempertegas keyakinan itu. Jadi, Kerajaan Allah menurut pandangan
Yesus telah ada dan berlaku di dunia saat Ia datang. Artinya Kerajaan Allah
telah ada di tengah-tengah atau di antara kejahatan dan kekuasaan dunia.
Kedatangan Kerajaan Allah tidak
memperlihatkan ciri-ciri atau tanda-tanda. Ia hadir bukan berdasarkan
pertimbangan dan pengamatan manusia (Luk. 17:20-21). Ia datang sesuai dengan kehendak Allah.
Kehadiran Yesus memperlihatkan bahwa
“waktunya telah genap” (Mark. 1:15),
artinya dengan pelayanan Yesus masa penantian itu sudah berakhir dan hari yang
dijanjikan Allah telah tiba. Pembuktian penggenapan waktu itu juga terlihat
melalui tindakan pengusiran setan, mujizat kesembuhan, pemulihan orang-orang
berdosa dan penerimaan terhadap orang-orang yang diasingkan.
III. GAGASAN
ESKATOLOGI PAULUS
Pada bagian ini akan diperlihatkan
gagasan-gagasan eskatologi Paulus yang mencakup dua aspek penting, yaitu
masalah kebangkitan orang mati dan parousia Yesus. Kemudian akan diuraikan juga
makna gagasan eskatologi itu bagi kehidupan jemaat pada masa kini. Dengan
demikian bagian kedua ini merupakan bagian sentral dalam pembahasan makalah
ini.
3.1. Aspek-aspek
Eskatologi Paulus
Teologi Paulus secara hakiki bersifat eskatologis. Pernyataan ini ada benarnya karena di dlaam
semua surat
tulisan Paulus tergambar dengan jelas ide-ide eskatologi itu. Dan uniknya,
permasalahan yang dihadapi oleh jemaat selalu dijawab oleh Paulus dengan
mengacu pada gagasan eskatologi. Singkatnya, Paulus memperkenalkan gagasan
eskatologinya dalam bingkai sejarah dan pengalaman hidup yang sedang dijalani
oleh jemaat. Jika dilihat sepintas, surat
Galatia,
Korintus maupun Roma seakan hanya berisi dogma atau ajaran-ajaran tertentu
tentang hukum taurat, pembenaran karena iman, keberadaan di dalam Kristus dan
lain sebagainya yang tidak bersangkutan langsung dengan masalah eskatologi.
Tetapi sekonyong-konyong Paulus berbalik arah dan pernyataan eskatologinya dimunculkan
kembali.
Misalnya surat 1 Korintus yang mencatat peraturan
tentang perkawinan dan hidup selibat sebenarnya secara terselubung juga
mencetuskan gagasan eskatologi. Dengan pertimbangan bahwa “..waktu yang ada
sekarang ini sangat singkat” dan pemikiran bahwa “dunia yang kita kenal
sekarang akan berlalu..” (1 Kor. 7:26,
31), Paulus menasihati agar semua orang tetap hidup dalam keadaan semula
seperti ketika Tuhan memanggil mereka (1 Kor. 7:17). Orang percaya diingatkan bahwa mereka adalah
“….generasi yang hidup pada waktu jaman akhir telah tiba” (1 Kor. 10:11). Kelak akan datang suatu
jaman baru dan setiap orang akan berhadapan dengan tahta pengadilan Allah di
mana segala sesuatunya akan diuji oleh api (1 Kor. 3:13-15). Oleh karena itu orang percaya diminta
untuk memberi perhatian pada masalah-masalah rohani yang dalam hal ini
menyangkut pengekangan terhadap keinginan daging, seperti dorongan seks.
Menurut Paulus hawa nafsu itu bisa dikendalikan melalui lembaga perkawinan.
Gagasan eskatologi juga diekspresikan
dalam surat
Roma ketika Paulus menggambarkan bahwa “…semua ciptaan menantikan saat di mana
anak-anak Allah dinyatakan” (Roma 8:19).
Ia juga menegaskan bahwa keselamatan itu sudah lebih dekat daripada waktu dia
dan orang-orang sejamannnya mengaku percaya kepada Kristus (Roma 13:12), yakni saat di mana
“..keadaan siang yang menggantikan malam kini telah tiba”. Dengan demikian
Allah akan segera menghancurkan setan di bawah telapak kaki orang percaya (Roma
16:20). Jadi, konsep
keselamatan dihubungkan dengan peristiwa pembinasaan terhadap kuasa kegelapan.
Dari sini jelas bahwa dalam seluruh
pemberitaannya, Paulus berdiri sebagai penerus gagasan eskatologi. Ia
menindaklanjuti ide-ide yang berasal dari PL, Apokaliptik dan Yesus. Tetapi
Paulus tidak mengambil gagasan itu dengan seenaknya sebab ia mengolahnya lebih
lanjut sehingga dapat dimengerti oleh jemaat yang kepadanya surat itu dikirimkan.
1. Kebangkitan
orang mati
Dasar keberanian Paulus
mengungkapkan adanya kebangkitan orang mati semata-mata lahir dari kenyataan
yang amat diyakininya bahwa Yesus benar-benar telah bangkit. Peristiwa
kebangkitan Yesus menjadi bagian yang hakiki dari pemberitaan tentang
eskatologi Paulus karena bagi Paulus sendiri kehadiran Yesus menandai suatu
peristiwa eskatologis. Dengan demikian kematian dan kebangkitan Yesus
memperkuat keyakinan Paulus bahwa eskaton itu telah terwujud pada masa kini. Sejarah telah mencapai penggenapannya dalam
peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus, dengan demikian tujuan akhir Allah
telah terjadi dalam sejarah. Tujuan akhir Allah tidak lain adalah
penyelamatan dan penebusan seluruh umat manusia melalui pekerjaan Yesus;
penggenapan itu telah terjadi pada saat ini (2 Kor. 6:2) .
Yesus adalah “yang sulung dari semua
yang dibangkitkan”, artinya bersamaan dengan kebangkitan Yesus telah tersedia
kebangkitan yang lain yaitu kebangkitan orang mati. tetapi sebelum masuk pada
pembahasan mengenai kebangkitan orang mati, ada baiknya jika terlebih dulu
ditelusuri arti “mati” atau “kematian” menurut pemahaman Paulus.
Paulus menghubungkan kematian dengan
akibat tindakan Adam yang membawa manusia ke dalam dosa. Dengan memadukan
ide-ide dari tradisi Yahudi-Perjanjian Lama, Paulus mengatakan bahwa dosalah
yang membawa manusia kepada kematian; upah dosa adalah maut/kematian (Roma 1:32). Sejalan dengan itu pula
berkali-kali Paulus tegaskan bahwa ada hubungan yang erat antara dosa dan
masalah kedagingan : “Jika kamu hidup
menurut daging, kamu akan mati” (Roma 8:13).
Sebagaimana halnya tanaman, kehidupan
yang berada dalam daging terus bertumbuh dan menghasilkan buah kedagingan,
yaitu kematian.
Tetapi upah dosa yang membawa pada
kematian itu telah dikalahkan melalui peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus.
Kenyataan bahwa “…kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, sekali untuk
selamanya…” (Roma 6:10) dan bahwa “maut tidak lagi berkuasa atas Dia” (Roma
6:9) memperlihatkan betapa peristiwa Kristus itu telah mengalahkan kuasa “masa
lalu” (Roma 5:12-21).
Dengan demikian “…manusia lama kita telah disalibkan bersama-sama dengan
Kristus” dan “tubuh dosa kita telah hilang kuasanya” (Roma 6:6). Jadi, “….siapa
yang sudah mati, ia telah bebas dari dosa (ay. 7) dan pernyataan ini berparalel
dengan “kebaruan manusia”.
Kematian dan kebangkitan Yesus membuat manusia menjadi “ciptaan baru” dan
sifat-sifat lama manusia telah ditanggalkan.
Berdasarkan alasan tersebut di atas,
maka tidak ada lagi yang perlu ditakutkan oleh manusia bahkan kematianpun tidak
lagi dianggap sebagai bencana. Orang percaya telah “ada di dalam Kristus”
sehingga saat matipun mereka tetap “bersama dengan Kristus”. Benarlah apa yang
dikatakan dalam Roma 8:38-39
bahwa “…baik maut maupun hidup, malaikat-malaikat maupun pemerintah-pemerintah
yang ada sekarang maupun yang akan datang, kuasa-kuasa di atas maupun di bawah,
atau pun suatu mahluk lain tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih
allah yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita”. Orang percaya telah menerima
kemurahan Allah bahkan menjadi satu dengan semua yang dialami oleh Yesus.
Itulah sebabnya Paulus memakai istilah “tidur” saat menjelaskan tentang keadaan
orang mati (Lih. 1 Tes. 4:13;
1 Kor. 15:16 dst) karena
ia yakin bahwa pada satu saat orang-orang yang tidur ini akan “dibangunkan”.
Barangkali masalah yang cukup sulit
untuk dijelaskan adalah mengenai masa yang terentang antara saat kematian
dengan masa kebangkitan. Di mana posisi orang-orang yang mati itu? Paulus
melukiskan bahwa ada sebuah tempat persinggahan tertentu bagi orang-orang mati;
dalam PL disebut sheol sedangkan PB
menyebutnya Hades. Dalam Yudaisme,
sheol merupakan tempat di mana penghukuman maupun pengampunan terjadi, hal ini
tergambar dari ajaran Yesus tentang “Lazarus dan orang kaya” (Luk. 16:19-31).
Di dalam tempat persinggahan sementara itu semua orang mati tidak lagi memakai
tubuh jasmaniahnya, tetapi mengenakan tubuh kebangkitan dan mengalami
transformasi eksistensi dari keadaan yang fana menuju pada yang kekal.
2. Parousia
Yesus
Gagasan eskatologi Paulus yang utama dan yang membedakannya dari
konsep-konsep eskatologi lain yang ada dalam Perjanjian Baru adalah masalah
kedatangan Yesus kedua kalinya.
Sebenarnya ada tiga istilah yang dipakai Paulus untuk menggambarkan
kedatangan Kristus kembali, yaitu :
- Parousia, yang mengandung dua arti
yaitu hadir (Fil.2:2) dan tiba (1 Kor. 16:17; 2 Kor. 7:7). Istilah ini menunjuk
pada kunjungan seorang pejabat tinggi ke suatu wilayah kekuasaannya.
Dikatakan sejak kenaikan-Nya ke Sorga, Yesus berada di sebelah kanan Allah
dan satu saat nanti Ia akan mengunjungi bumi kembali, hadir secara pribadi
(Kis. 1:11) di dalam
kemuliaan dan kekuasaan-Nya (Mat.24:27). Bersamaan dengan kedatangan-Nya
itu, Ia akan membangkitkan orang-orang mati yang berada dalam Kristus (1
Kor.15:23) untuk bersatu dengan-Nya (2 Tes.2:1 bnd. Mat.24:31). Pada saat itu
juga Ia pun akan menghancurkan si jahat (2 Tes.2:8 lih. Juga 1 Tes.2:19; 3:13; 4:15 dan 5:23).
- Apokalipsis, yakni “penyataan
(Diri)” atau “penyingkapan (selubung)”. Sejalan dengan peristiwa
kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Sorga, Yesus telah dinobatkan menjadi Raja (1 Kor. 15:25) dan kepada-Nya telah
dikaruniai “Nama di atas segala nama” dan diagungkan. Oleh karena
kekuasaan-Nya tidak terjadi di dunia, maka satu saat Ia harus menyatakan
diri kepada dunia dengan segala kekuasaan-Nya itu (2 Tes. 1:7; 1 Kor.1:7)
- Epifania atau penampakan, biasanya menunjuk pada aspek eskatologis tentang
kedatangan Kristus yang bisa terlihat. Pada saat itu Kristus akan
membinasakan orang-orang yang malas. Dengan demikian kedatangan Yesus
kembali bukanlah suatu peristiwa yang rahasia tapi semacam pemberlakuan
kemuliaan Allah di dalam sejarah.
Kedatangan Yesus kembali bukanlah sesuatu yang bisa diramal atau
direka-reka sebab melampaui perhitungan dan perkiraan manusia. Tapi satu hal
yang pasti, kedatangan Yesus kembali akan menyempurnakan seluruh janji
keselamatan yang pernah dibuat Allah sejak dahulu kala (1 Tes. 5:8-9),
menghukum mereka yang jahat dan menegakkan Kerajaan-Nya di dunia.
Dengan demikian kedatangan Yesus kembali ingin memperlihatkan bahwa
keselamatan itu berlaku universal dan tidak hanya dirasakan oleh sekelompok
orang atau bangsa tertentu. Ia meliputi seluruh sejarah manusia. Kedatangan
Yesus kembali juga mengandung dua maksud : di satu sisi membawa keselamatan
tapi pada sisi lain membawa penghukuman.
Pembicaraan mengenai Parousia Yesus tidak terlepas dari kenyataan
bahwa peristiwa ini berhubungan dengan Kerajaan Allah. Mengutip pernyataan
Norman Perrin, maka Kerajaan Allah tidaklah berarti menunjuk pada suatu tempat
atau suatu komunitas yang diperintah oleh Allah yang konkritnya bisa dijabarkan
sebagai aktivitas Allah. Ia bukanlah suatu otoritas tersembunyi tapi penampakan
kekuasaan yang tidak berdasar pada bentuk formal, tapi fungsi.
Yesus dalam pengajaran-Nya tentang Kerajaan Allah seringkali
menggunakan istilah Basileia (yunani)
yang berarti pemerintahan Allah sebagai Raja dan bukan wilayah kekuasaan. Mengenai kapan terwujudnya Parousia Yesus
ini, masing-masing ahli Biblika mempunyai pendapat yang berbeda.
C.H.Dodd menekankan bahwa Kerajaan Allah telah terwujud secara utuh
di dalam dunia sejalan dengan kedatangan Yesus.
Tapi pernyataan seperti ini tentunya tentunya tidak disetujui oleh semua pihak.
W. Panenberg misalnya mengatakan bahwa tentunya tidak tepat bila Kerajaan Allah
telah terwujud sepenuhnya karena bila itu terjadi, maka keadaan dunia akan
berbeda. Albert Schweitzer malah menjadi penggagas ide
Kerajaan Allah yang futuris. Menurut
Schweitzer, pengharapan eskatologi Yesus sama dengan kebanyakan penulis
apokaliptik sejaman-Nya. Yesus percaya Allah segera campur tangan dalam hidup
manusia melalui kedatangan Anak Manusia yang akan terjadi tidak lama lagi (Mat.
10:23) Penengah dari pemahaman yang berbeda ini
(antara eskatologi futuris dengan yang terwujud) dicetuskan oleh J.Jeremias
yang menyimpulkan bahwa eskatologi berada dalam proses perealisasian dirinya.
Ia menyatakan bahwa di dunia ini masih belum ada suatu eskatologi yang
benar-benar real. Tindakan penciptaan berada pada garis awal proses itu dan ia
terus bergerak tiada henti sampai pada suatu batas yang tidak berujung.
Eskatologi tidak lain adalah perjalanan waktu yang menuju kekekalan.
Pada bagian awal suratnya, pandangan rasul Paulus tentang eskatologi
banyak didasarkan atas ajaran Yesus. selanjutnya secara bertahap ia
mengembangkannya. Misalnya, Paulus melihat kematian dan kebangkitan Yesus tidak
hanya untuk menebus dosa manusia tapi sekaligus juga mengalahkan kuasa jahat
dan membawa masuk semua orang percaya ke dalam Kerajaan Mesianis. Di satu pihak
Paulus menganggap bahwa penyelamatan yang akan datang itu telah terjadi saat
ini tetapi tidak berarti semua tindakan kejahatan musnah seketika. Kejahatan
itu tetap ada tetapi mereka telah tidak berdaya (Roma 8:31-39) dan siap menanti penghakiman.
Melalui pernyataan di atas Paulus mencoba menjelaskan bahwa masalah
yang dihadapi jemaat, kesulitan dan keinginan jahat dalam diri seseorang
merupakan manifestasi dari pekerjaan si iblis. Misalnya kepada jemaat di
Tesalonika Paulus mengatakan bahwa penghalang baginya untuk mengunjungi mereka
tidak lain disebabkan oleh pekerjaan iblis (1 Tes. 3:3-5). Anjuran Paulus
kepada jemaat Korintus untuk menikah juga sebagai antisipasi terhadap pekerjaan
iblis yang bisa menanamkan pengaruhnya melalui nafsu seksual (1 Kor. 7:1-6).
Mengenai musuh-musuhnya yang menyerang di Korintus, Paulus menasihati jemaat
agar saling menguatkan dalam kelemahan sebab ia takut kalau-kalau iblis
berusaha mendapat keuntungan dari kelemahan jemaat (1 Kor. 2:5-11). Adalah
iblis juga yang dianggap menjadi penyebab penderitaan tubuh Paulus (2 Kor.
12:1-7).
Pembinasaan total atas kuasa jahat ini terjadi secara sempurna
melalui kedatangan Yesus kembali. Kedatangan-Nya tidak bisa ditentukan oleh
perhitungan manusia (1 Tes. 5:1-4) karena Ia bisa datang kapan saja. Pada saat
kedatangan-Nya akan terdengar suara nyaring dari Surga; malaikat akan berseru,
terompet berbunyi. Orang-orang yang masih hidup akan diangkat ke suatu tempat
untuk berkumpul bersama dengan orang yang telah meninggal dan yang akan
dibangkitkan itu. Semua orang yang percaya akan terangkat ke Surga untuk
bertemu dengan Allah dan akan diam tinggal untuk selamanya dengan Allah (1 Tes.
4:16-17). Bila saat itu
tiba, seluruh alam akan mengalami transformasi dari yang dapat binasa kepada
keadaan yang tidak dapat binasa (Roma 8:19-22).
Paulus berkali-kali dalam suratnya yang pertama mengungkapkan bahwa
kedatangan Tuhan kembali (Parousia) terjadi tidak lama lagi. (bnd. Roma
13:11-14). Bahkan dalam surat
pertamanya (1 Tesalonika), Paulus mengatakan bahwa Parousia itu terjadi saat ia
dan beberapa orang Kristen mula-mula masih hidup (1 Tes. 4:13-14). Dalam 1 Kor. 15:15-54 ditambahkannya
bahwa orang-orang yang masih hidup akan diubah pada saat yang sama.
Namun pengharapan akan Parousia yang bersifat kekinian itu ternyata
pada akhirnya menimbulkan masalah karena Kristus yang dinanti itu belum datang.
Oleh karena itu, sebelum Paulus meninggal, ia mencoba memberi semacam pembelaan
terhadap ajarannya dengan memunculkan ide penundaan parousia. Penerus pemikiran
Pauluspun mengembangkan ide tentang ketertundaan Parousia. Meskipun terjadi
ketertundaan parousia, tapi aspek kekiniannya tetap dipegang oleh Paulus.
Artinya, sejarah keselamatan Allah tetap berlaku dan terlaksana di sini,
dijaman ini. Hanya saja ada penambahan baru yakni hadirnya kuasa kejahatan. Kendati
karya keselamatan Kristus sudah selesai dalam arti kuasa setan sudah
ditaklukkan, namun pengaruhnya masih tetap ada. Misalnya masalah dikotomi
realitas “terang-gelap” (1 tes. 5:4-5; 2 Kor. 6:14). Dari sinilah muncul kesan seolah-olah Paulus
bersifat dualistis.
Kendati segala kualitas kekinian itu telah diterima, Paulus tetap
juga menekankan aspek pengharapan. Ia mulai bicara mengenai “Allah pengharapan”
(Roma 15:13). “…Roh Kudus
diberikan dalam hati kita sebagai jaminan dari semua yang telah disediakan” (2
Kor. 1:22; 5:5). Oleh Roh
dan karena iman, kita menantikan kebenaran yang kita harapkan (Gal.5:5). “Kita
menantikan pernyataan Tuhan kita Yesus Kristus” (1 Kor. 1:7; 1 Tes.1:10 bnd.
Filipi 3:20). Dalam Roma 8:25
Paulus menjelaskan pengharapan itu : “..jika kita mengharapkan apa yang tidak
kita lihat, kita menantikannya dengan tekun”. Ketegangan antara yang sudah dan belum merupakan kekhasan teologi Paulus. Bagi Paulus ketegangan itu
berasal dari ketegangan antara hidup dalam Kristus dan hidup dalam Adam. Oleh
karena adanya ketegangan antara keadaan yang sudah dan belum inilah maka ada
aturan-aturan etis yang harus dilakukan oleh orang Kristen. Pertama-tama orang
Kristen harus berada dalam relasi yang baik dengan Allah dengan tetap
mengarahkan diri pada pengharapan yang terbentang di depan. Keterikatan orang
Kristen dengan Allah nyata terlihat melalui keterlibatannya dalam komunitas
orang percaya.
Kesatuan hidup orang percaya dengan Allah yang diwujudkan melalui
solidaritas hidup bersama ini, oleh Paulus diistilahkan dengan ungkapan
:”terlibat dan menyatu dengan peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus”. Mereka
menjadi orang-orang pilihan yang bila saat Parousia itu tiba, kendati mereka
sudah mati, mereka tetap menerima anugerah Allah. Saat berada di dalam dunia,
orang percaya yang terhisap di dalam Kristus itu akan masuk dalam suatu keadaan
yang berbeda dengan sekitarnya; mereka semakin bertumbuh dalam pengenalan akan
Allah dan menjadi sama seperti Kristus, selalu diubah dan disempurnakan.
3. Makna Gagasan
Eskatologi Paulus bagi Kehidupan Jemaat Masa Kini
Sebenarnya gagasan tentang eskatologi bukanlah sesuatu yang baru
bagi jemaat, bahkan ia sudah menjadi
bagian dari pemberitaan-pemberitaan firman di gereja maupun dalam ibadah
sejenisnya. Buku-buku Kristen pun juga banyak membahas masalah ini. Pemberitaan
tentang eskatologi menjadi menarik justru karena kemisteriusan dan
ketidaksanggupan manusia dalam memahaminya secara utuh.
Meskipun demikian, gagasan
eskatologi Paulus cenderung menimbulkan masalah karena tidak semua orang
memahami arti mendasar dari ide Paulus tadi. Belajar eskatologi lebih dipahami
sebagai upaya menghitung-hitung atau mereka-reka waktu kedatangan Tuhan. Dan
yang lebih tragis lagi, gagasan eskatologi Paulus didramatisir sedemikian rupa
sehingga ia bukannya menimbulkan rasa damai dan tenteram di hati jemaat, tetapi
justru menimbulkan ketakutan dan kekuatiran karena eskatologi identik dengan
malapetaka, penghukuman dan kebinasaan. Ada
kecenderungan dalam jemaat yang menganggap bahwa eskatologi itu hanya berarti hari kiamat.
Upaya menghitung-hitung waktu dan hari kedatangan Tuhan kembali ternyata
tetap dipegang oleh jemaat sampai saat ini. Keadaan ini tidak ubahnya dengan
kelakuan jemaat abad 17-18 M yang hanya berdasarkan pertimbangan rasional dan
upaya mencocok-cocokkan ayat-ayat tertentu dengan segera mengklaim bahwa tidak
lama lagi Tuhan akan datang dan dunia ini akan menuju titik akhirnya. Misalnya
William Miller dari aliran adventisme. Dengan mendasarkan pertimbangan bahwa sehari
Tuhan sama dengan satu tahun manusia, ia memperkirakan bahwa Tuhan datang
sekitar tahun 1843 atau 1844. Pada awal pemberitaannya memang ide ini diterima
dan membawa kebangunan rohani yang besar di tengah jemaat. Tetapi ketika
ramalannya tidak terlaksana, jemaat terpecah dan cenderung memberi penilaian
negatif kepada Miller khususnya dan kaum rohaniwan pada umumnya.
Hal kedua, tindakan meramalkan atau
menghitung kapan Tuhan datang, bisa membahayakan hubungan jemaat/orang percaya
dengan realitas antar agama di sekitarnya. Bisa saja akan muncul sikap intoleran jemaat terhadap agama
lain. Hal ini lahir dari kenyataan bahwa jemaat yang terlalu terobsesi dengan
masalah eskatologi ini cenderung menutup diri dari dunia luar dan merasa
dirinya lebih baik daripada orang lain. Hanya dirinya yang benar dan orang lain
di luar dirinya tidak terangkum dalam penyelamatan akhir jaman itu.
Memang, gagasan eskatologi Paulus
membawa manusia pada pemikiran tentang kesementaraan hidup. Hal ini disebabkan
karena penekanan pada “….waktu yang sisa..”, tetap kesementaraan hidup ini
sebaiknya disikapi dengan bijaksana karena di sinilah inti pengajaran
eskatologi Paulus. Paulus mengingatkan bahwa sejalan dengan pengharapan
mengenai kesempurnaan janji keselamatan Allah, orang percaya harus dapat
memakai waktunya yang masih ada ini untuk berbuat sesuatu bagi orang lain yakni
menolong sesama dan memberi kesaksian iman kepada orang di sekitarnya tentang
keselamatan itu.
Bagi orang percaya secara
keseluruhan, (khususnya pada masa kini), gagasan eskatologi Paulus baru
memiliki makna bila dilihat dari sudut pandang etika. Orang percaya diminta
untuk selalu mentaati dan tetap menjaga komitmen imannya yakni bertanggung
jawab terhadap setiap keputusan etis yang dibuatnya. Satu hal yang pasti, orang
percaya harus menjadi panutan dalam segala perbuatan baik.
III. PENUTUP
Ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil
sebagai catatan penutup dari semua pembahasan mengenai gagasan eskatologi
Paulus, antara lain :
1.
Pemahaman Paulus tentang
eskatologi selalu dibuat berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang disesuaikan dengan
permasalahan yang dihadapi oleh jemaat. Dengan kata lain, Paulus membungkus
gagasannya di dalam konteks pemikiran jemaat tertentu.
2.
Gagasan eskatologi Paulus tidak
berdiri sendiri, artinya ia mengambil alih dan mengolah pemikiran-pemikiran
yang berkembang di jamannya maupun pada jaman sebelumnya. Oleh karena itu tidak
ada gagasan yang murni sebagai pikiran Paulus.
3.
Gagasan eskatologi Paulus
berfokus pada diri dan peristiwa yang melingkupi kehidupan Yesus. Jadi, suatu
eskatologi yang bersifat Kristologis. Dengan gagasan utama pada peristiwa
kematian dan kebangkitan Yesus, maka Paulus tampil sebagai teolog yang
membangun teologi yang Kristosentris. Berdasarkan semua pemikiran itu, Paulus menyatakan
bahwa melalui kematian dan kebangkitan Yesus, keselamatan dan Kerajaan Allah
sudah dialami oleh orang percaya. Hal ini memberi keyakinan kepada orang
percaya bahwa tidak ada satupun masalah yang menakutkan mereka. Bahkan
kematianpun bukan lagi sebagai sesuatu yang menakutkan karena :”..tidak ada
satupun kuasa yang bisa memisahkan kita dari kasih Tuhan”
4.
Setiap orang yang mati di dalam
Kristus, walaupun belum mengalami Parousia Yesus, telah mengalami kebangkitan
bersama dengan Kristus, berpartisipasi di dalamnya karena adanya kebangkitan
Yesus.
5.
Dalam perkembangan selanjutnya,
gagasan eskatologi Paulus mengalami perkembangan dan perubahan makna. Artinya
konteks eskatologi yang sebenarnya menawarkan suatu penghiburan dan ketentraman
di hati orang percaya telah dipersempit. Ia hanya diartikan sebagai ide yang
berbicara tentang akhir dunia dan cenderung menakutkan. Peristiwa kedatangan
Tuhan bermakna penghukuman saja dan diperhitungkan menurut pertimbangan
manusia. Padahal kedatangan-Nya juga membawa keselamatan dan masalah waktu
kedatangan-Nya tidak perlu diukur karena tidak ada yang mengetahuinya, kecuali
“…Bapa di Surga”.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Braaten, Carl E., Eschatology and Ethics, Minnesota
: Augburgh Publishing
House, 1974.
Jacobs, Tom, Paulus : Hidup, Karya dan Teologinya,
Jakarta :
BPK.Gunung Mulia dan
Yogyakarta :
Penerbit Kanisius, 1992
Ziesler, John, Pauline Christianity, Oxford
: Oxford University
Press, 1990